jam

Kamis, 06 Desember 2012

Kasus-Kasus Transnational Crime Asia Tenggara

Transnasional Crime memiliki beberapa definisi , hal ini terkait dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, serta kepentingan yang menyebabkan beberapa Ahli merumuskan definisi Transnasional Crime serta Radikalisme sangat bervariasi , namun secara gari besar terdapat kata kunci yang dapat digunakan sebagai panduan dalam merumuskan pengertian transnational crime adalah :

1.Suatu perbuatan sebagai suatu kejahatan.
2. Terjadi antar Negara atau Lintas Negara.

Dari kedua kata kunci tadi dapat dijelaskan bahwa Transnational Crime merupakan suatu kejahatan yang terjadi lintas Negara dalam pengertian bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan apabila terdapat piranti hukum yang dilanggar sehingga bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dirumuskan, dirancang , disiapkan , dilaksanakan dalam suatu Negara bisa saja bukan merupakan kejahatan namun ketika hasil kejahatan yang diatur, disiapkan melakukan lintas batas Negara untuk masuk ke yuridiksi Negara yang berbeda lantas dikategorikan sebagai kejahatan Transnasional Crime.

Isu isu penting dalam penanggulangan kejahatan lintas Negara adalah terkait dengan

1. Bahwa setiap Negara memiliki kedaulatan masing masing berupa kedaulatan hukum , wilayah dan pemerintahan , sehingga dengan adanya perbedaan system , struktur dan budaya hukum antar Negara dibutuhkan suatu pengaturan berupa , konvensi, perjanjian , traktat, bahkan pendekatan Government to government termasuk pendekatan Police to Police dalam konteks tertentu sebagai jembatan untuk memadukan kepentingan kedua Negara atau lebih agar dapat bekerja sama dalam penanggulangan Transnational crime.

2. Tiap Negara memiliki nilai tawar ( bargaining Power ) yang selaras dengan kekuatan ekonomi, social budaya, hankam dan politik sebagai konsekuensi logis dari kedudukan suatu Negara dalam tataran Geostrategi dan Geopolitik di lingkungan regional maupun Internasional.sebagai contoh kedudukan Indonesia sebagai suatu Negara di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan dua benua yaitu Australia dan Asia menyebabkan peran Indonesia sangat Strategis dalam upaya penanggulangan kejahatan berua perompakan ( Sea Piracy ) tinggal bagaimana Pemerintah dan Masyarakat Indonesia mengelola kondidi Geografis , Geologis dan Demografi sebagai suatu bargaining power Bangsa Indonesia di pergaulan regional dan Internasional.

3. Dalam memahami kejahatan lintas Negara atau Transnasional Crime adalah mutlak untuk mempelajari juga konsep dan teori dalam Hukum Internasional, , Humanitarian Law , dan Kejahatan Internasional.

4. Akibat adanya perbedaan kepentingan antar Negara sehingga dilingkungan regional maupun Internasional sehingga tidak semua kejahatan yang dikategorikan Transnational crime,dipersepsikan sebagai kejahatan yang sama oleh setiap Negara.contoh ( inisiatif tiap Negara dalam ratifikasi Konvensi PBB maupun Asean ) alermo Convention : Kejahatan Narkotika ,Kejahatan pembantaian masal/genocide,Kejahatan Upal ,Kejahatan laut bebas ,Kejahatan maya/Cyber Crime .Deklarasi ASEAN : Illicit Drug Trafficking,Money Laundering,Terrorism,Arm Smuggling,Trafficking in Person,Sea Piracy,Trans National economics crime & currency counterfeiting, Cyber Crime. AMMTC (Asean Ministry Meeting on Trans National Crime),Information Exchange,Legal Matters,Law Enforcement Matters,Training,Institutional Capacity – Building ,Extra Regional Cooperation

5. Korelasi antara Kejahatan transnasional dengan Hukum internasional dan kejahatan terorganisasi, bahwa wacana yang berkembang adalah adanya perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan Internasional namun bukan merupakan suatu kejahatan Transnasional dengan actor melibatkan atau tidak melibatkan kelompok / organisasi kejahatan demikian sebaliknya , suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan Transnasional namun bukan merupakan kejahatan terhadap Hukum Internasional dengan actor dilakukan oleh kelompok / organisasi maupun non organisasi kejahatan .

6. Combating Terrorism terdapat beberapa metode : hard power ( Militer, penegakkan Hukum , intelijen ) dan Soft power ( Negosiasi , pembangunan ekonomi, dan Kontra Intelijen ) : hard power ( Military approach ) dengan metode perang terbuka ( kerap dilakukan oleh Amerika dengan menggunakan konsep perang “ War On terror “, sedangkan metode penegakkan Hukum telah dilakukan Indonesia semenjak peristiwa bom Bali 1 dimana secara yuridis dimulai dengan perpu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Yang Kemudian Diganti Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagai lompatan jauh dalam penanggulangan Terorisme yang mendapat apresiasi Negara lain walaupun belum mampu memberikan efek jera dan penyadaran untuk tidak melakukan kembali kejahatan terorisme , hal ini disebabkan karena perangkat hukum di Indonesia belum mengakomodir kegiatan penyadaran ( deradikalisasi dan counter radikalisasi ) terhadap pelaku,pendukung dan simpatisan,metode Hard power terakhir berupa operasi Intelijen melalui pendekatan ISA ( Internal Security Act ) seperti yang diterapkan Singapura dan Malaysia.

7. Khusus untuk pembagian domain dalam pemberantasan terorisme di Indonesia , terdapat beberapa wacana yang mengemuka di public : pertama bagaimana peran TNI dan Polri serta pelibatan dan pola operasi yang paling efektif dilakukkan , seperti diketahui bahwa TNI memiliki “striking force “pasukan pemukul yang berkualifikasi Lawan Teror ( Den 81 Kopassus, Den Jaka, Den Bravo ) , kedua tentang ekes terkait masalah hak Asasi manusia, SARA yang timbul terkait operasi pemberantasan terorisme di Indonesia dimana selain adanya pengaruh politik di Indonesia perangkat hukum dalam pemberantasan Indonesia dilakukan dengan pembuatan perpu yang berlaku surut ( retroactive ) , ketiga , Prolegnas ( program legislative nasional) yang belum mengakomodir perangkat undang undang sebagai landsan kegiatan deradikalisasi .keempat adalah masalah Budgeting / anggaran dimana karena belum adanya organisasi yang solid, dan didukung produk hukum / undang-undang yangmemadai.

8. Deradikalisasi dan Counter Radikalisasi merupakan program yang dilakukan untuk mencegah dan menangkal pengaruh radikal untuk berbalik menjauh dan melepaskan pemahaman radikal yang telah dimiliki menjadi moderat
.
9. Sesuai amanat undang undang dan Hukum acara pidana bahwa kegiatan penindakan ( upaya paksa ) terkait proses pidana , Polri merupakan garda terdepan, sedangkan dalam situasi dan kondisi Polri tidak mampu atau mengalami kesulitan maka Polri dapat meminta bantuan kepada TNI ( sehingga TNI bekerja atas permintaan Polri ) dalam kaitan penindakan ( konteks proses hukum acara pidana ) , situasi CALL OUT ini merupakan hal biasa dalam upaya penindakan tindak pidana Terorisme ( kejahatan ekstra ordinary ) ketika kekuatan Polisi ( di negara Demokratis ) tidak sebanding melawan kejahatan yang tidak bisa dihadapi dengan standar kemampuan polisi regular. Dan membutuhkan organ kepolisian yang memiliki kemampuan Militer ( para Militer).

10. Sedangkan peran Militer tidak terlepas dari kemampuan territorial dan ( Early warning Early detection ) yang dimiliki dalam konteks upaya penanggulangan terorisme melalui kegiatan Deradikalisasi, Kontra Radikalisasi .

Transnational Crime Asia Tenggara

Dalam tulisan ini akan dibahas tentang konsep Transnasional Crime atau Transbaoundary Crime, perkembangannnya di Asia Tenggara dan bagaimana tanggapan dari ASEAN sendiri. Sebelum masuk pada pembahasan, penulis merasa penting untuk secara singkat membahas konsep Gray Area Phenomena sebagai pendekatan dalam menjelaskan nature negara berdaulat dalam menghadapi kejahatan yang kini dapat melintas berbagai batas-batas kedaulatan negara. Pendekatan ini bisa digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi fenomena Transnasional Crime secara umum tak terkecuali di Asia Tenggara.
Konsep Gray Area Phenomena (GAP)
GAP didefinisikan sebagai ancaman stabilitas negara berdaulat oleh aktor non-state atau proses-proses non-pemerintahan dan organisasi (Hiltner, 2008). Mereka adalah ancaman langsung terhadap kohesi dan stabilitas yang mendasari bentuk negara modern yang berdaulat. GAP dibedakan dalam dua bentuk, bentuk non-kekerasan dan tindak kekerasan. GAP non-kekerasan berkaitan dengan ancaman yang ditimbulkan oleh kegiatan non-proses dan tanpa pengaruh pemerintahan seperti aktifitas tak terkontrol dan ilegal dari imirasi seperti kelaparan dan wabah. Sedangkan GAP sebagai tindak kekerasan pada umumnya terkait dengan kegiatan aktor-aktor non-negara, misalnya sindikat kejahatan internasional, perdagangan narkoba, dan organisasi atau kelompok teroris.
Dalam menggunakan konsep ini penulis menempatkan diri pada nature negara yang egois, self-help system. Negara hanya menekankan otoritas dalam wilayahnya yang telah ditetapkan dengan garis-garis batas negara. Kegiatan lintas batas dianggap sebagai hubungan luar negeri atau tanggung jawab negara lain. Dengan nature ini jelas bagi negara untuk membedakan antara masalah luar egeri dan dalam negeri. Dalam sistem nation-state pada umumnya kejahatan atau kriminalitas menjadi permasalahan dalam negeri sebuah pemerintahan. Pemerintahan tersebut membutuhkan kerjasama atau ekstradisi untuk menghadapi pelaku kejahatan yang keluar dari garis negara. Namun saat kejahatan berkembang dan meluas, memiliki jaringan luar negeri, terdapat suatau kebingungan, siapa yang mempunyai otoritas untuk memberantas kejahatan tersebut, seperti apa kerjasama yang harus dilakukan sementara kejahatan tersebut benar-benar terhubung disatu negara denga negara lain, memiliki efek timbal balik dan pada dasarnya mengganggu stabilitas negara-negara tersebut.
Kegiatan-kegiatan tersebut menciptakan zona abu-abu pada negara yang berdaulat, karena tindakan yang melintasi negara ini pada dasarnya menyebabkan kerugian bagi beberapa pihak. Negara-negara bisa mengacuhkan dan menyerahkan penyelesaian pada negara lain, namun keberadaannya turut menggangu kastabilitasan negaranya sendiri. Nyatanya satu pihak dari negara yang peduli dengan permasalahan ini tetap tidak dapat menyelesaikan sendiri masalah yang demikian karena hal ini menyangkut kestabilitasan negara lain. Karena itu dua pilihan dihadapkan pada negara-negara yang terlibat, melepas tanggung jawab atau keduanya bekerjasama dan terus menjaga hubungan baik dalam menyelesaikan permasalahan yang sama persis dihadapi keduanya dan saling terhubung. GAP mendorong adanya kerjasama negara-negara dalam melawan kejahatan yang sama, terutama Transnational Crime yang mengacu pada tindak kekerasan GAP.
Kelahiran Konsepsi Transnational Crime
Gangguan lintas batas negara sebenarnya telah ada lebih dulu sebelum konsep “Transnational Crime” sendiri lahir. Di tahun 1923 satuan polisi internasional atau interpol dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa. Konsep kejahatan transnasional baru dipublikasikan pada tahun 1996 di Kopenhagen lewat sebuah studi yang dilakukan oleh McFalane dan McLenaan (Emmers, 2002).
Keduanya mengkonsepsikan Transnational Crime sebagai ancaman untuk negara, ekonomi nasional dan masyarakat sipil. Hal ini dapat mengganggu stabilitas nasional dan internasional. Tindakan tersebut bisa digambarkan dengan tindak teror yang memiliki jaringan internasional ataupun kegiatan penjualan obet-obet terlarang dan pencucian uang yang dapat mengurangi kredibilitas lembaga keuangan dan merusak tatanan sosial. Kemudian bagaimana tindakan semacam ini muncul dan berkembangannya di Asia Tenggara? Bagian selanjutnya akan menguraikan jawaban dan pertanyaan tersebut.
Perkembangan Transnational Crime dan Tanggapan ASEAN
Isu kemanan tradisional tetap menonjol, yakni yang berhubungan dengan geopolitik dan geostrategi setidaknya sampai perang dingin berakhir. Pengaruh kekuatan blok Barat dan Timur memberikan pengaruh yang besar dalam isu ini, kekhawatiran dunia terutama pada masalah pengembangan kekuatan militer dan senjata strategis serta munculnya hagemon dunia. Isu kemanan pada dekade terakhir ini makin kompleks dengan meningkatanya aktifitas terorisme, perampokan dan pembajakan, penyelundupan, imigrasi gelap dan seterusnya. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut makin kompleks karena dikendalikan oleh aktor-aktor dengan jaringan lintas negara yang sangat rapi, serta memiliki kemampuan teknologi dan dukungan finansial (DepHan Republik Indonesia).
Keadaan ini disadari betul oleh dunia Internasional maupun ASEAN. Konsep kjahatan transnasional mulai ditangani dalam lingkungan regional ASEAN sejak 20 Desember 1997 dengan dilaksanakannya ASEAN Declaration on Transnational Crime di Manila. Permasalahan ini secara berlanjut menjadi perhatian ASEAN sampai dihasilkan blueprint ASEAN Political-Security Community yang mengagendakan salahsatunya penanganan kejahatan transnasional lebih lanjut dalam ASEAN Multilateral Meeting on Transnational Crime yang bertemu dua tahun sekali di negara-negara ASEAN. Dari sinilah konsep kerjasama bilateral, multilateral dalam lingkungan regional maupun ASEAN+3 dan kerjasama dengan United Nation dalam menangani permasalahan ini (www.asean.org).
Kasus-Kasus Transnational Crime Asia Tenggara
Salah satu permasalahan yang begitu menonjol di kawasan ini adalah Golden Triangle atau segitiga emas yang merupakan sebuah wilayah yang dibentuk dari garis yang dihubungkan oleh tiga titik. Dari wilayah Thailand Utara, Laos bagian Barat dan Myanmar bagian Timurl. Di kawasan inilah narkotika, heroin dan amphetamin diproduksi dan didistribusikan ke seluruh penjuru dunia. Pada tahun 2003 Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra giat melancarakan perang terbuka terhadap jaringan obat-obatan gelap di Thailand sebagai salah satu daerah bagian dari segitiga emas (Cipto, 2007:228). Terhadap permasalahan ini ASEAN terdorong untuk melakukan kerjasama dengan UN tepatnya dalam United Nation Office of Drug Control and Crime Prevention (UNDCP). Pertemuan Internasional ini menghasilkan Bangkok Political Declaration Pursuit of a Drug Free ASEAN 2015 (Cipto, 2007:229).
Dalam bobot yang lebih ringan dan lebih sulit dideteksi, transnational crime mewujudkan diri dalam bentuk Human Trafficking. Permasalahan ini diperburuk dengan lemahnya political will dan kemampuan lembaga dalam penangannya. Permasalahan utamanya adalah perdagangan buruh ilegal dari Indonesia dan Philipina ke Malaysia dan dari Asia Selatan ke Asia Tenggara, kemudian ke Australia. Selain itu perdagangan wanita dan anak-anak begitu pesat dikarenakan permintaan pasar prostitusi dan buruh anak yang begitu besar (Cipto, 2007:230). Secara regional permasalahan ini ditangani oleh ASEAN Regional Forum (ARF)yang pertemuannya diadakan di Singapura, sedangkan kerjasama dengan ASEAN+3 tercermin dalam pertemuan di Seoul. Kerjasama internasional dilakukan dengan Undalam “Protocal to Prevent, Suppres, and Punish Trafficking in Persons Especiality Women and Children” (Cipto, 2007:231).
Banyak permasalahan kejahatan lintas negara lain yang ada dalam Asia Tenggara. Namun satu lagi yang banyak menyita perhatin internasional adalah pembajakan di Malaka sebagai wialayah laut strategis yang banyak digunakan oleh kapal-kapal internasional sebagai jalur pelayaran. Permasalahan ini sebagian besar dalam kontrol kerjasama patroli bersama MALSINDO (Malaysia-Singapura-Indonesia). Biro Maritim Internasional pada 2004 menyatakan terdapat penurunan 70 persen dari angka pembajakan diwilayah ini dengan diadakannya patroli bersama tersebut. Dengan keberhasilan ini pada Januari 2011 Amerika Serikat tertarik untuk bekerjasama dalam penangan permasalahan ini (www.tempointeraktif.com).
Kesimpulan
Permasalahan Transnational Crime telah begitu populer di dunia internasional. Permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh satu negara tanpa adanya kerjasama dengan negara lain baik secara bilateral, multilateral maupun internasional. Isu keaman tradisional telah sedikit digeser oleh ancaman baru dengan aktor non-statenya. Kerjasama dalam berbagai tingkatan telah dilakukan sebagai respon dari kejahatan pembajakan, human trafficking, penjualan obat-obatan terlarang, terorisme dan seterusnya.